Pertarungan Sosio-Historis Petani Kalasey: Dari Kapitalisme Perkebunan Kolonial Hingga Developmentalisme Negara.

 

(Deliberasi Institute- METRO GEMA NEWS:

Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah pertarungan kelas. Pernyataan ini membawa implikasi penting tentang bagaimana sejarah harusnya dipahami: bahwa perkembangan sosio-historis dalam alam material selalu merupakan hubungan dialektis yang terkait dengan pertarungan, kekuasaan, dan dominasi. Sejarah bukanlah suatu proses yang natural, melainkan hasil dari perubahan-perubahan konkret dalam alam material manusia. Dengan demikian, struktur sosial yang ada hari ini, juga adalah hasil historis dari pengalaman masyarakat dimasa lalu.

Tulisan ini mencoba menguraikan pertarungan sosio-historis petani Kalasey dalam pengertian sejarah yang demikian.Intervensi aktivisme kelas menengah pada kasus Kalasey, terutama datang dari organisasi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa, bukanlah faktor dominan yang membentuk totalitas pengalaman perlawanan petani. Kehadiran kelompok ini hadir hanya sebagai kekuatan yang mencoba “menata” dan “mereposisi” gerakan yang sebelumnya telah menyejarah sedemikian rupa. Sejarah itu menyangkut dengan pertarungan sosial yang ada dalam setiap momen historis petani dimasa lalu dalam mempertahankan tanah di bawah pengaruh jenis-jenis kekuasaan tertentu yang berubah-ubah.

Terdapat beberapa momen historis yang perlu diuraikan secara ringkas dalam tulisan ini. Pertama adalah fase awal formasi sosial Kalasey yang dibentuk melalui kapitalisme perkebunan era kolonial; kedua era pasca kemerdekaan yang ditandai dengan nasionalisai alat produksi dan pengaruh kekuatan sosial Kiri terhadap petani; ketiga adalah fase dimana negara Orde Baru memulai intervensi pembangunan awal dan berbagai kekuatan sosial yang berupaya mengklaim kepemilikan tanah; dan keempat adalah intensifikasi proyek-proyek pembangunan negara di era 2000-an yang telah mempersempit akses petani terhadap lahan produksi.

Menjadi Buruh Perkebunan Kolonial

Kebijakan cultuutstelsel atau tanam paksa di era Gubernur Jendral Hindia-Belanda van Den Bosch yang dimulai pada tahun 1830-an telah memicu banyak protes dan pemberontakan rakyat, terutama di wilayah Jawa, sehingga telah memaksa kebijakan ini untuk diakhiri. Namun demikian, kebutuhan akan komoditas pangan tetap menjadi kepentingan mendesak pemerintah kolonial, sehingga penciptaan terhadap perkebunan (Onderneming) tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Tahun 1930-an, ketika Kalasey oleh pemerintah Hindia-Belanda ditetapkan sebagai Onderneming, atau dikenal sebagai Onderneming Lingkey (perkebunan Lingkey), adalah titik awal formasi sosial masyarakat Kalasey terbentuk. Dalam menjalankan Onderneming Lingkey, pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan tenaga kerja. Sumber daya tenaga kerja mayoritas datang dari wilayah Nusa Utara, yaitu mereka yang menghuni kepulauan utara Sulawesi dan bagian selatan Filipina, atau dikenal sebagai suku Sangir.

Para pekerja beridentitas suku Sangir yang menetap dalam Ondermening Lingkey menjadi populasi mayotitas yang telah bertransformasi dari keahlian utama suku tersebut, yaitu sebagai nelayan. Mereka telah berkembang menjadi buruh tani perkebunan yang aktivitas kerjanya sangat terikat dengan relasi kerja kapitalisme, yaitu buruh-upahan.

Eksistensi suku Sangir sebagai nelayan tetap bertahan diwilayah geografis yang dekat dengan bibir pantai. Sedangkan mereka yang mendiami area perbukitan yang menjadi pusat perkebunan, telah menjadi buruh-upahan sektor perkebunan kolonial. Mereka memproduksi komoditas perkebunan Hindia-Belanda, berupa pala dan karet. Sisa-sisa tanaman ini sekarang masih bisa kita temui di perkebunan Kalasey, walau sekarang telah terjadi peralihan komoditas utama.

Buruh-upahan Onderneming Lingkey dalam hal ini mengadapi dua kekuatan opresif yang saling terhubung, yaitu struktur kolonialisme dan kapitalisme perkebunan. Berada di dalam kuasa opresif dan penundukan dua hal tersebut sedikit/banyak memengaruhi pengalaman perlawanan untuk mempertahankan tanah. Sejak awal mereka mendiami wilayah ini, upaya kolektif untuk mempertahankan tanah tetap diwariskan turun-temurun.

Penguasaan terhadap Onderneming Lingkey berganti tangan kepada pihak Jepang, yang diketahui bernama Wakana Hartoki.Namun saat Jepang kalah dalam perang, dan pihak Belanda kembali berkuasa, Onderneming Lingkey diambil alih sebagai harta benda musuh.

Era Nasionalisasi dan Berlanjutnya Perkebunan

Seiring terciptanya negara Indonesia modern pasca kemerdekaan, Onderneming Lingkey yang sempat dikuasai oleh pihak kolonial kini menjadi sepenuhnya pihak pemerintah Indonesia. Tercatat, pada tahun 1948, Onderneming Lingkey berada dalam penguasaan PT. Asiatic. Nasionalisasi terhadap Onderneming Lingkey oleh pemerintah Indonesia merdeka pada nyatanya hanya fase untuk memulai kembali hubungan relasi kerja-upahan melalui kapitalisme perkebunan. Dalam hal ini, para buruh perkebunan tetap menjadi bagian integral dalam relasi produksi perkebunan kapitalis.

Buruh perkebunan yang ditandai oleh relasi kerja-upahan dan dominasi kelas oleh korporasi PT. Asiatic menjadi penanda struktural eksploitasi kerja terhadap buruh di perkebunan. Di tengah kebangkitan politik radikal bercorak sosialis yang dibawa oleh kekuatan sosial Kiri, menjadikan buruh perkebunan PT. Asiatic sebagai sumber daya sosial untuk menghimpun kekuatan kelas buruh. Tidak heran, pada tahun 1950-an, buruh perkebunan PT. Asiatic tercatat bergabung dengan serikat pekerja yang berhaluan kiri, yaitu sebagai anggota dari Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) yang memiliki afiliasi ke Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di bawah pengaruh Partai Komunis Indonesia.

Tidak ada catatan mengenai aktivitas SARBUPRI di Kalasey, akan tetapi seperti yang diceritakan oleh petani Kalasey, ketika gerakan Permesta dimulai, anggota keluarga mereka menjadi sasaran oleh kekuatan kontra revolusi yang didukung oleh Barat. Hal ini bisa dimungkinkan oleh karena adanya permusuhan ideologis gerakan Permesta yang menilai pemerintah pusat semakin dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Situasi ini tentu bukan lah hal yang menguntungkan, sehingga menyasar mereka yang terafiliasi dengan kekuatan politik Kiri adalah hasil dari permusuhan ideologis tersebut.

Kehadiran SARBUPRI di Kalasey menjadi penanda kuat bahwa buruh perkebunan di wilayah ini pernah menjadi sumber daya pengorganisiran kekuatan politik Kiri yang sempat Berjaya pada 1950-an. Tentu fakta ini memiliki fondasi struktural yang melandasinya, yaitu tetap berlanjutnya mode produksi kapitalisme perkebunan berbasis kerja-upahan. Status mereka sedari dulu sebagai buruh, juga adalah status yang menandakan bahwa mereka tidak pernah punya kesempatan menguasai lahan produksinya hingga hari ini.

Arena Pertarungan

Penguasaan PT. Asiatic terhadap bekas Onderneming Lingkey akhirnya berakhir pada tahun 1982. Para buruh perkebunan Kalasey tahu persis memanfaatkan hal ini. Mereka mulai intensif mengelolah lahan dengan menanam berbagai komoditas.Selain itu, perlahan-lahan telah membentuk pemukiman dengan sumber daya material utama adalah lahan bekas korporasi tersebut. Negara juga telah memulai fase awal pembangunan di Kalasey Dua pada tahun 1981-1982 melalui proyek resettlement (pemukiman).

Hingga pada tahun 1986, pemerintah menetapkan lahan bekas penguasaan PT. Asiatic tersebut sebagai objek reforma agraria.Mereka kini mulai mengelolah lahan tersebut secara kolektif, dan tidak lagi berbasis pada hubungan kerja-upahan seperti di masa kapitalisme perkebunan. Pengakuan negara juga mendatangkan bantuan berupa alat-alat tani sederhana yang dimanfaatkan oleh petani Kalasey. Sesuai catatan, luasan bekas penguasaan PT. Asiatic adalah 225 hektar dan hanya dimanfaatkan oleh petani seluas 80 hektar seudah termasuk dengan pemukiman.

Relasi kerja-upahan di bawah kapitalisme perkebunan telah berkahir, pengakuan negara juga telah di dapatkan. Tantangan baru kembali muncul dan menandakan berlanjutnya pertarungan sosio-historis para petani. Tahun 1996-1997, petani menghadapi klaim kepemilikan tanah adat yang diajukan oleh Suku Bantik.Bagi petani, hal ini tidak sebatas klaim, melainkan percobaan perampasan. Suku Bantik mengklaim bahwa Kalasey adalah wilayah adatnya. Sedangkan petani mendasari klaimnya pada interaksi mereka mengelola lahan yang telah berlangsung sejak zaman Hindia-Belanda. Dua klaim ini berbeda secara diametral, yang satu berdasarkan identitas kultural, semntara yang lain berdasarkan aktivitas produksi.

Tidak berhenti disitu, para veteran mantan kombatan perang, menginginkan wilayah Kalasey untuk dibangun perumahan yang diperuntukan oleh mereka. Tidak ada penjelasan mendetail mengenai bagaimana akhirnya kasus ini bermuara, akan tetapi yang pasti adalah, Kalasey telah menjadi arena dimana berbagai kekuatan sosial saling bertarung untuk memperebutkan akses terhadap lahan. Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa dari masa ke masa posisi petani Kalasey sangat rentan, walalaupun tetap resilien. Situasi kerentanan ini membawa mereka pada protes yang berlangsung sejak 1998 yang menuntut agar pemerintah memberikan hak penuh petani atas lahan produksinya.

Developmentalisme Negara dan Kuasa Eksklusi

Hidup dalam kondisi tak mendapatkan pengakuan atas tanah, memiliki konsekuensi serius terhadap petani Kalasey. Tidak diakui artinya adalah proses menunggu yang tragis, suatu proses menunggu kematiannya sendiri, yaitu menunggu negara dan kekuatan koersifnya datang dan memisahkan mereka dengan alat produksi. Tahun 2012 menjadi awal ragam proyek pembangunan negara berlangsung. Dimulai dengan penyerahan 20 hektar tanah kepada institusi kepolisian untuk membangun markas pasukan elite, Brigade Mobil.

Status tanah sebagai bekas Hak Guna Usaha (HGU), membuat pemerintah seolah memiliki otoritas absolut untuk menentukan untuk apa lahan produktif petani itu diperuntukkan, hingga “hibah” demi “hibah” (baca: perampasan) diberikan oleh pemerintah terhadap berbagai instansi negara. 2019 giliran Badan Keamanan Laut Nasional yang mendapatkan lahan 9 hektar. Sementara tahun 2021, TNI-AL mendapat jatah 20 hektar, namun dengan perlawanan petani, mereka tidak melanjutkan proyek tersebut.

Tahun 2021 menjadi momen yang krusial. Sisa lahan produksi akhirnya diserahkan kepada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seluas 20 hektar untuk membangun fasilitas pendidikan pariwisata. Pada momen ini, organisasi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa memulai proses advokasi. Reorganisasi kekuatan petani mulai dikonsolidasikan, dan rangkaian protes mulai dilangsungkan. Namun, negara beserta kekuatan koersifnya berhasil menguasai sisa lahan yang petani miliki. Represi terhadap petani adalah awal yang sangat mempengaruhi lunturnya radikalisme petani. Semangat perlawanan luntur, petani terfragmentasi, meninggalkan jejak perlawanan yang belum selesai. Jalur legal-formal yang ditempuh dengan skeptis, berbuah hasil yang sebelumnya sudah dapat ditebak.

Hari ini, tidak jelas bagaimana strategi terbaik agar lahan produksi bisa menjadi milik petani sepenuhnya. Bahkan dikalangan aktivisme kelas menengah, hal ini tidak terumuskan dengan baik. Setidaknya ada hal yang harus diperhatikan, bahwa perlawanan terhadap kuasa eksklusi harus disadari sebagai perlawanan melawan kapitalisme itu sendiri, yang pada hari ini, telah difasilitasi oleh negara. Hal ini mensyaratkan perimbangan kekuatan, terutama antara elemen-elemen yang saling berkontradiksi, yaitu kekuatan borjuis dan kepentingan kelas petani. Di bawah developmentalisme negara, Kalasey dibanjiri ragam proyek infrastruktur negara, dari proyek daerah hingga pusat. Semua dibangun melalui eksklusi, dan beberapa kasus melalui koersi.

Penutup

Sejak terbentuknya formasi sosial petani Kalasey di dalam kapitalisme perkebunan, hingga developmentalisme negara hari ini, satu hal yang pasti adalah ragam corak kekuasaan tetap berlanjut dengan implikasi yang sama, yaitu pemisahan produsen atas alat produksi. Dengan demikian, sejarah petani Kalasey adalah sejarah pertarungan kelas. Ia lahir dari proses dialektis yang saling memengaruhi di dalam pertarungan yang telah menyejarah sedemikian rupa. Fakta ini lah yang membentuk pengalaman berlawan petani, sedangkan intervensi aktivisme kelas menengah hanya faktor marginal dari keseluruhan proses sejarah yang telah dilalui oleh petani Kalasey.

Oleh: M. Taufik Poli / Rafli Sanggel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *