Menolak Kriminalisasi Pers

Sebuah Tinjauan Mendalam Terhadap Perlindungan Hukum Wartawan

0:00

Opinion News.

ACEH TAMIANG – METRO GEMA NEWS:

Apakah pantas seorang wartawan, yang dengan itikad baik menjalankan profesinya sesuai dengan amanat undang-undang yang berlaku dan menghasilkan karya jurnalistik yang berpegang teguh pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, justru menjadi korban kriminalisasi? Pertanyaan ini menggema seiring dengan meningkatnya kasus-kasus yang menimpa jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Layakkah seorang wartawan, yang notabene menjalankan amanat Undang-Undang Pers, dihadapkan pada proses pidana yang berujung pada hukuman penjara? Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.

Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi warga negara. Jaminan ini merupakan fondasi penting bagi tegaknya demokrasi. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (3) menegaskan bahwa pers nasional memiliki hak yang fundamental untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi kepada publik. Hak ini merupakan esensi dari peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Pasal 8 undang-undang yang sama secaraGamblang menyatakan bahwa profesi wartawan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat. Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan kebebasan bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya tanpa rasa takut atau intimidasi.

Terkait dengan perlindungan hukum tersebut, Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, termasuk dalam hal ini Undang-Undang Pers, tidak dapat dipidana. Artinya, jika seorang wartawan bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, maka ia tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal pidana. Selain itu, Pasal 63 (2) KUHP juga menyatakan bahwa jika suatu perbuatan yang masuk dalam aturan pidana umum juga diatur dengan pidana khusus, maka aturan pidana khusus itulah yang seharusnya dikenakan. Hal ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang Pers sebagai lex specialis seharusnya menjadi rujukan utama dalam kasus-kasus yang melibatkan wartawan. Pasal 61 (2) KUHP lebih lanjut menyebutkan bahwa penerbit tidak dapat dituntut apabila dalam barang cetakan disebutkan nama dan tempat tinggalnya, sedangkan perbuatannya terkenal, atau setelah dimulai penuntutan pada waktu ditegur pertama kali diberitahukan oleh penerbit. Ini memberikan perlindungan tambahan bagi penerbit media.

Undang-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi tertinggi negara, juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal 28E Ayat (2) menjamin kebebasan setiap warga negara untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan bersikap sesuai dengan hati nurani. Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan, ketika seorang wartawan memenuhi kaidah jurnalistik yang profesional dan bertindak sesuai dengan Undang-Undang Pers, kemudian didakwa melakukan tindak pidana, maka tuntutan itu merupakan kesalahan dalam penerapan hukum, bahkan patut diduga sebagai indikasi penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam tentang hukum pers bagi aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, pers Indonesia saat ini membutuhkan insan-insan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki etika dan moral yang tinggi. Wartawan yang berintegritas akan mampu menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab, serta berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Perlindungan terhadap wartawan dan kebebasan pers adalah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang informatif, kritis, dan demokratis.

Pengalaman Kajian Ulang

Pada tanggal 23 Juli 2008, saya mendapatkan kehormatan untuk berpartisipasi sebagai salah seorang pembicara, mendampingi Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) dalam sebuah forum penting. Tujuan utama dari keterlibatan saya dalam acara tersebut adalah untuk menyampaikan usulan mengenai dilakukannya judicial review terhadap sejumlah pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi. Secara lebih spesifik, dalam kesempatan yang sangat berharga tersebut, saya mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali secara mendalam beberapa pasal hukum pidana yang, menurut pandangan saya, berpotensi secara signifikan membatasi dan mengekang kebebasan pers serta kebebasan berekspresi, yang merupakan pilar penting dalam sebuah negara demokratis. Pasal-pasal hukum yang saya maksud adalah pasal-pasal yang mengatur tentang berbagai tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum, seperti pencemaran nama baik seseorang, penghinaan terhadap individu atau kelompok, penyebaran fitnah yang merusak reputasi, dan penyebaran kabar bohong yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Perlu dicatat bahwa pasal-pasal semacam ini semakin ditinggalkan oleh banyak negara di dunia yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sejalan dengan pandangan saya, Atmakusuma Asratmaja, seorang tokoh penting dari Dewan Pers, juga berpendapat serupa mengenai isu yang sangat krusial ini. Beliau juga memiliki kekhawatiran yang sama tentang potensi pasal-pasal tersebut untuk menghambat kebebasan pers.

Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa pasal-pasal hukum yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan sejenisnya menjadi tidak populer dan semakin ditinggalkan di berbagai negara di dunia. Alasan-alasan ini perlu dipahami dengan baik agar kita dapat mengevaluasi relevansi pasal-pasal tersebut dalam konteks kebebasan pers dan berekspresi saat ini. Pertama, proses pembuktian secara faktual dalam kasus-kasus pencemaran nama baik seringkali sangat sulit dan kompleks. Kesulitan ini muncul karena substansi dari delik-delik tersebut lebih sering berupa pendapat atau interpretasi subjektif daripada pernyataan fakta yang konkret dan dapat diverifikasi secara objektif. Dengan kata lain, sulit untuk membuktikan secara pasti apakah suatu pernyataan benar-benar mencemarkan nama baik seseorang atau tidak, karena hal tersebut sangat bergantung pada interpretasi individu. Kedua, sifat dari delik pencemaran nama baik sangat relatif dan subjektif. Penilaian terhadap apakah suatu pernyataan mencemarkan nama baik atau tidak sangat bergantung pada perasaan serta pendapat subjektif individu yang merasa dirugikan oleh pernyataan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya multi-interpretasi, atau timbulnya berbagai penafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu pernyataan atau pemberitaan. Apa yang dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh satu orang, mungkin tidak dianggap demikian oleh orang lain. Keempat, dalam konteks karya jurnalistik, delik-delik seperti pencemaran nama baik seringkali tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki. Kerugian sementara yang mungkin timbul akibat pemberitaan pers yang dianggap merugikan dapat diperbaiki dengan cepat dan efektif melalui berbagai upaya korektif, seperti membuat dan menyiarkan berita perbaikan yang berisi informasi yang benar, klarifikasi untuk memperjelas maksud dari pemberitaan sebelumnya, konfirmasi dari pihak-pihak terkait untuk memberikan perspektif yang lebih lengkap, ralat untuk mengoreksi kesalahan faktual, serta pelaksanaan hak koreksi dan hak jawab oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut. Dengan demikian, mekanisme koreksi dan klarifikasi yang telah mapan dalam dunia pers seharusnya lebih diutamakan dan dimanfaatkan secara optimal daripada proses kriminalisasi yang dapat berdampak negatif terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Kriminalisasi seharusnya menjadi upaya terakhir setelah semua mekanisme koreksi dan klarifikasi telah dicoba dan tidak berhasil.

(Pengantar dari Marzuki, LPDS lulusan tahun 1999, di Gedung Dewan Pers)

Liputan: (TIM/Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *